Sunday, 8 May 2011

Chocolate Factory Experience


Alkisah Charlie Bucket, seorang anak lugu dan sederhana dari keluarga yang secara memprihatinkan sederhana pula. Tinggal disebuah gubug reyot di pinggir kota yang terkenal dengan pabrik coklat terbesar di dunia-nya. Pabrik yang dulunya menjadi generator penduduk untuk bermukim di sekitar dengan sebagian besar mata pencaharian bergantung pada kelangsungan industri cokelat tersebut. Suatu saat, si pemilik pabrik yang eksentrik, Willy Wonka memutuskan untuk mem-PHK semua pekerja di pabrik tersebut, dan secara misterius menjalankan pabrik-nya seorang diri. Hal ini menjadi misteri terbesar bagi semua orang.
Sementara dalam pandangan lugu Charlie, pabrik cokelat adalah "dunia fantasi". Suatu negeri yang penuh dengan makanan kegemarannya itu. Dalam jumlah banyak dan gratis yang mampu ia konsumsi. Bagaimana mungkin sebuah bangunan bisa menjalankan roda fantasi bagi berjuta-juta anak-anak. Ada apakah di dalamnya?

Impian Charlie tersebut mungkin sama dengan imajinasi masa kecil kita dahulu. Gw pernah mempunyai "mimpi" tentang mall. Seperti "dunia fantasi"-kah jika kita terjebak di dalam mall yang penuh dengan mainan-mainan sepanjang malam sampai pagi. Dengan gratis kita memilih, menjalankan, bermain sepuas hati. Dunia tak berbatas yang sesuai dengan impian kita.

Demikian Tim Burton yang memang ahli dalam "menerjemahkan" alam mimpi menyusun konsep untuk film Charlie and the Chocolate Factory, yang aslinya dikarang oleh Roald Dahl sebagai karya sastra untuk anak-anak yang sarat dengan pesan moral. Burton tidak memberikan fokus kepada si eksentrik Willy Wonka seperti film pendahulunya (Willy Wonka and the Chocolate Factory) melainkan (lagi-lagi) setting luar biasa, gaya Inggris-industrial (gothic atmosphere), gridded city, gubug reyot dalam arti sebenarnya, atau sungai "coklat" yang nampak seperti sungai citaum yang lagi banjir, tetapi dalam citarasa yang nikmat. Burton menghadirkan realita dari fantasi Charlie Bucket tentang dunia fantasi-nya.

Satu hal gw suka banget adalah apresiasi Burton terhadap film "A 2001 Space Odyssey" karya Kubrick. Film lawas yang fenomenal itu menjadi scene sendiri dalam adegan (spoiler alert) Mike Teevee tersedot dalam teleport. Blackbox yang ada di Space Odyssey pada awalnya berubah menjadi sekotak Wonka's Chocolate. Hehehehe, lengkap dengan musik dan suasana "putih"-nya. Dalam interkoneksi, dua film ini menjadi suatu bentuk manifestasi imajinasi. Space Odyssey merupakan imajinasi futuristik dari futurolog Arthur C Clarke, sementara Charlie and the Chocolate Factory adalah hasil "teleportasi" Burton ke dalam otak seorang anak bernama Charlie Bucket yang menjadi simbol kesederhanaan anak-anak oleh pengarang buku-nya, Roald Dahl.

Satu lagi, quote yang brilian adalah ketika si kakek skeptis menganjurkan Charlie untuk "experience" Golden Ticket-nya ketimbang dituker dengan sejumlah duit (yang emang dibutuhkan oleh keluarganya. "Uang itu akan terus dicetak, dan kamu tidak bakal kehilangannya. Sementara pengalaman itu datangnya sekali dalam seumur hidup, apa kamu akan menghilangkannya?". It's time to give our life meanings

Thursday, 21 April 2011

Good Movie?


Not so long ago, one of my bestfriend said: "...Constantine (Frank Lawrence) tuh film yang perfek banget! Ngga ada cacat-nya sama sekali...". Quite shocking am I? Yup I agree kalo Constantine emang film yang entertaining. Tapi ketika kita memberikan suatu komentar apresiasi, doesn't it bit too naive to said so...Constantine adalah film dengan banyak cacat menurut gue. Especially karakter utama-nya, John Constantine, yang amat sangat terribly miscast by Keanu Reeves. I'm a comic book fans, jadi ekpektasi gue adalah John Constantine as tough as John McClane di trilogi Die Hard, atau Tyler Durden-nya Fight Club (David Fincher). They're really bad as mothe'fucker...kata orang sono. Sementara cast Keanu sangat "kalem" dan kata temen gue cool-nya sok sok Matrix gitu...maksutnya mungkin cool yang cuek tapi ngga bandel. Indeed gue setuju kalo blunder terbesar dari film Constantine adalah jatuhnya cast John Constantine ke tangan Keanu. Selain itu ada juga beberapa screenplay yang monoton (seperti misalnya adegan zombie-like) khas horror Hollywood beserta music score-nya. Pfuih, to me it's a far from perfect movie!


But, soal selera emang berbeda-beda. I agree. Constantine bisa dibilang menarik karena memang konflik dan dasar ceritanya udah menarik. You know what? The worst film I've ever seen...Batman and Robin (Joel Schumacher)...itu masih enak juga ditonton karena emang dasarnya menarik. Tapi sebagai movie fans yang mencermati banyak hal dari film, Batman and Robin adalah scumbag yang even ngga layak ada di antara Batman dan Batman Returns-nya Tim Burton sebagai prekuel. Bahkan masih jauh mendingan Batman Forever-nya Joel Schumacher sebelumnya. However, daya tariknya emang ada di: "...it's Batman.."-nya. Like or dislike, sang Ksatria Kegelapan bakal narik box office. Troy juga quit pro quo. Secara film menurut gue adalah film yang sangat jelek (despite for the set). Tapi karena temanya udah menarik, jadi whatever it might come tetep aja jadi film yang menarik untuk ditonton, tapi tidak untuk dimasukkan sebagai film yang bagus.


Film yang bagus bagi gue adalah film yang memiliki handicap untuk mewujudkan sebuah cerita yang mungkin biasa saja menjadi sesuatu yang menarik. In the Name of the Father (Jim Sheridan), Shawshank Redemption (Frank Darabont), The Godfather (Francis Ford Coppola), Lost in Translation (Sofia Coppola), Cidade de Deus (Alejandro Meirelles), Dead Man Walking (Tim Robbins) atau Mystic River (Clint Eastwood). Itu hanya beberapa contoh saja film yang menurut pendapat gue adalah film berkelas! Tema yang mereka ambil bukan tema yang populis. Not everyone like for being an Irish, lifer or death prison, atau bahkan orang yang berpikir dirinya "just being in a wrong place and at the wrong time". Tapi secara visual film-film tersebut mampu memberikan gambaran how does it feel to be like that, melalui permainan akting, sinematografi, alur dan penceritaan yang solid. Itu adalah film yang ngga semua orang bakal mampu ngerjain-nya. Cidade de Deus lebih dahsyat lagi, karena tema yang diangkat was EXTREMELY UNPOPULIST. Itu adalah film semi dokumenter tentang kekerasan di lingkungan kumuh sudut kota Rio de Janeiro. Masalahnya adalah sang sutradara, Meirelles, bisa membuat suatu visualisasi dahsyat gabungan antara sinematografi dan twisted plot untuk membuat penceritaan-nya ngga serboring kita dengerin Wardah Hafidz orasi. That's what I called brilliant.


Film Fight Club (Fincher) adalah film yang bagus (even menurut IMDB dan user comment-nya). Ceritanya memang sudah menarik, tetapi versi naskah-nya yang ditulis Chuck Palahniuk adalah naskah yang sarat atas filosofi-filosofi post-strukturalis yang berat dan "not visual friendly". Hebatnya, Fincher berhasail menyampaikan (at least menurut gue) tema "berat" tersebut nge-blur dalam satu jalinan cerita yang solid dan sinematografi yang mantap. Adegan memorable seperti ketika perabot Ikea dari si Narator (Edward Norton) muncul adalah refleksi dari kehebatan sinematografi untuk menyampaian pesan "consumers life" yang menjadi objek kritik film. Atau Pulp Fiction (Quentin Tarantino) yang selalu menjadikan setiap adegan sebagai media mengeluarkan statement si sutradara (dan pembuat naskah - Tarantino himself) dalam bentuk dialog-dialog yang ekstra panjang. Who cares about McD and Burger King in France anyway?! Tapi dengan cast yang pas (John Travolta dan Samuel L. Jackson) adegan itu jadi memorable dan menjadi fitur film yang sangat berkesan. That what I considered as a challenge.


Peter Jackson menyadari bahwa he's dealin with fire ketika menangani trilogi epik saga Lord of the Rings. Indeed, he need a bloody research mulai dari awal dekade 90-an untuk mewujudkan film hampir 10 tahun kemudian! It's a heavyweight composure dan terbayar dengan visualisasi brilian yang memberikan gambaran terpatri tentang Middle Earth Creature-nya Tolkien. Sama yang dilakukan Ridley Scott dalam Blade Runner tentang visi masa depan. They deal with a good script but they didn't ever think to spoil it. Dance With Wolves (Kevin Costner) juga membutuhkan riset untuk hadir dengan Siouxense speech-nya, just like the Elven language on Jackson's trilogy. It's not as easy untuk membuat satu film yang bagus meski kita sudah mempunyai bekal cerita yang bagus. Take a look at the Alamo, Alexander atau Hulk. Siapa yang mendebat bahwa saga benteng di Texas, ksatria penakluk dunia dan ikon komik Marvel itu adalah cerita yang bagus? But they didn't manage to visualize it well!


Anyway, I'm enjoying Constantine...dan relatif ketika dibilang itu adalah film yang bagus. I agree! It's a good adaptation from comic book to movie. Dan indeed selera orang memang berbeda. Tapi ketika dibilang Constantine it's a perfect movie? Well, gue cuman takut film-film grand kaya yang banyak gue sebut di atas ngga ada lagi. Film yang butuh pengorbanan ekstra untuk mewujudkannya dan disukai banyak orang. Film yang dibuat for the sake of art dan duit bukan segalanya. Gue sangat yakin bayaran dan keuntungan trilogi Lord of the Rings ngga bisa nge-cover semua proses mulai dari riset di awal 90-an sampai video release-nya. Tapi at least Peter Jackson udah bisa senyum lega karena dia menghasilkan mastrepiece yang bakal jadi ikon film di awal milenia. Seperti halnya George Lucas dengan Star Wars-nya. I'm pretty sure it will!

Monday, 28 February 2011

how important to manage stress

There are various causes of stress; when we  experience something unusual or unexpected and it demands too much from us, we either face the experience or run from it. Various individuals have different ways to handle stress levels. Others can simply overcome their stressful events while others simply cannot that they experience chronic or persisting stress.




Doctors connect health risks to stress since our body react to combat unusual experience, we experience the manifestation of stress through regular headaches and colds. Stress imposes great pressures on our brain, immune systemm,  blood vessels, digestive system, sensory organs and  lungs. But, if stress is not at all addressed, we risk more our health to the following health issues:


  • heart disease 
  • depression 
  • diabetes 
  • hair loss 
  • sexual dysfunction 
  • hyperthyroidism 
  • obesity 
  • obsessive-compulsive or anxiety disorder 
  • tooth and gum disease 
  • ulcers 
  • cancer 
  • alcoholism
  • drug addiction
  • allergies and skin problems
  • coursework!!! The most frequently appear!!!!
 To handle stress, it is imperative that we have stress – intervention strategies which include:


  • regular and steady exercise
  • correct healthy diet
  • positive social life
  • fun recreations including poker for mac
  • positive outlook towards life, problems, people, work among others
  • support system with and through friends and family


Stress can be remedied and if properly and promptly addressed, we can use stress to fuel us to do better. Acknowledging the cause of our  stress and finding ways to face this issue, we reduce our health risks. It is quite important that we have the right  mechanisms to handle stress and with the right information how to battle it, we don't allow chronic stress to persist.

Friday, 25 February 2011

Overview Avatar



Every fantasy built from a true story...


Itu bukan kutipan Sigmund Freud, atau persona sohor lainnya. Gw hanya berpikir seperti prakata yang menjadi narasi film "Arthur", bahwa mitos, folklor, legenda, dan kisah-kisah di luar rasio memiliki fondasi yang dibangun dari sebuah rasio.


Simpelnya, bahkan JRR Tolkien memerlukan latar hidupnya untuk mengomposisi saga fantasi modern Lord of the Rings. Let alone puluhan skrip sci-fi yang lahir di era cyberpunk.


Maka, gw pun mencoba menalar apa yang ada di pikiran James Cameron kala dia membuat Avatar. George Lucas membuat dunia Star Wars, di era film modern, menggemakan dunia imajinasi yang menyemarakkan absurditas Wonderland-nya Alice yang berasal dari tradisi tutur. Bedanya, George Lucas menyiapkan fantasinya untuk tradisi pirsa, sehingga detil-detil dunianya harus ia siapkan dalam pemahaman visual yang masuk ke ranah rasio.


Dan teknologi makin mendukung perkembangan gagasan nirbatas, sehingga apa yang James Cameron lakukan adalah membuat protagonisnya berupa makhluk berwarna biru setinggi tiga meter, yang mungkin merupakan evolusi seekor singa, lantaran adaptasi morfologinya masih menyisakan surai, taring dan ekor berujung rambut.


Itulah bangsa "Na'vi", penduduk indigenus planet Pandora. Dari perilaku dan juga kosmetik tribal-nya, gw menebak landasan bangsa tersebut adalah bangsa asli Amerika, migran dari Eskimo, yang karena kebodohan Colombus maka dinamakan Indian. Bangsa yang membentang dari bekunya Alaska, sampai ke hutan hujan di Amerika Selatan. Itu mengapa tribal protagonisnya diberi nama Omaticaya, nama yang mirip dengan lafal suku Inca.


Ada pula folklor di Amerika yang bersetting pada masa formatif dunia baru, berupa romansa antara kaum indigenus yang diwakili Pocahontas, dengan seorang "alien" berkebangsaan Inggris, John Smith. Meski tak yakin alterasi nama Neytiri ke Pocahontas, tapi bagu saya inisial JS bisa mewadahi John Smith atau Jake Sully. Jake Sully dan Neytiri adalah dua protagonis utama di film Avatar.


Lalu, apa dasar lain yang digunakan oleh James Cameron untuk ciptakan saga Pandora-nya?


Rancangan film ini sudah dibuat sejak tahun 1994, yang artinya melewati masa administrasi Bush, ketika mereka menginvasi dengan kekuatan militer dengan dalih "pre-emptive strike" dan "war on terror" untuk berbarrel-barrel minyak bumi, sumber energi utama yang digantungi 80% penduduk bumi. Di Avatar, ada mobilisasi militer untuk mendapatkan logam unobtanium.


Atau bila kita kembali ke era Indian, hasilnya adalah "ecstasy of gold" (dan perak untuk kasus Potosi) yang dibawa conquistador, atau pemukim peloper yang halalkan semua cara, termasuk menghabisi atau memperbudak pendududuk asli.


Meski secara jalan cerita Avatar cukup standar, tapi yang patut dikagumi adalah bagaimana alam Pandora diciptakan dengan keseimbangannya, meski secara ekosistem penggambaran keragaman hayatinya masih sedikit kurang menurut gw.


Dalam alegori Indian, mungkin ada role bison yang diambil hybrid badak, banteng dan kumbang. Tunggangan berupa kuda, dan juga dua hewan angkasa yang disakralkan: elang (banshee) dan kondor besar Amerika (Toruk). Ditambah dengan kehadiran kucing besar solois (cougar) dan anjing semi-nokturnal (serigala), universal Pandora merupakan refleksi kedua dari dunia kaum Indian di Amerika, kecuali secara botani sample-nya adalah hutan hujan tropis, kediaman Indian Amazon dan leluhur mereka.


Manusia menjadi alien kali ini, dalam versi Cameron, kritik untuk perilaku spesies kita yang serakah dan jauh dari sikap menghargai alam. Atas nama peradaban, kita menganggap kebudayaan primitif itu adalah sebuah setback yang senantiasa bisa dicerahkan dengan sistem pendidikan dan kedok bantuan sosial tanpa rasa ikhlas. Sementara yang kita anggap bodoh malah memperlakukan keseimbangan di atas segalanya.


Gw terus menerus tercekat memikirkan unsur ekstrinsik yang membangun dunia Avatar oleh James Cameron. Hingga, unsur intrinsik sebuah film, yang selain visualisasi sebetulnya diselesaikan dengan cara sederhana, tak terlampau merisaukan dengan generalisasi kisah epiknya.


Namun, sekali lagi, sebuah karya yang bagus kadang bukan berpijak ke kompleksitas, namun kedalamannya. Ini laras dengan prinsip hidup kaum primitif yang sederhana namun memiliki makna yanh dalam. Maka bagi gw, Avatar adalah penggambaran yang tepat untuk membenturkan kompleksitas hidup kaum modern versus kebersahajaan.


Satu hal harus dicatat, kesederhanaan yang dilakukan dengan berakar dalam, hasilnya jauh dari sifat mediokritas.

Thursday, 24 February 2011

Sydney Opera House Part 2

Bangunan ikonik yang menjadi simbol dunia baru, khususnya Sydney dan Australia. Salah satu pencapaian terbaik dalam arsitektur. Coba hitung, ada berapa bangunan yang mampu mendefinisikan sebuah kota? Colleseum di Roma, Tembok Cina, Piramida, Menara Eiffel. Itu semua masuk dalam keajaiban dunia. Dan rasanya status Opera House juga sudah masuk ke dalam kategori itu, sehingga UNESCO menahbiskan status perlindungannya, setara dengan Stonehenge, sebagai landmark peradaban. De facto dan de jure, SOH mendapatkan legitimasinya.

Opera House dibangun di lahan yang berkontur. Lokasi bangunan sedikit lebih tinggi dibanding level jalan dan plaza. Akses utama menuju SOH berupa trap tangga, dengan akses ramp di sebelah kiri dan kanan. Atraksi utamanya tentulah sebuah struktur bangunan metafora dari layar terkembang (diperkuat oleh bentuk logo resmi SOH), yang bila diamati dari depan juga mirip dengan cangkang-cangkang raksasa. Sebuah derivasi dari bentuk organik yang menjadi ciri dan insiprasi para seniman ekspresionis. Dari dekat, terlihat detail-detail arsitektural yang membuat bangunan ini membutuhkan lebih dari satu dekade untuk selesai. Gurat-gurat linear dari beton membuat satu alur menarik yang bertabrakan dengan material kaca, sebagai dinding pembatas. Di kulit luar, beton ditutup dengan keramik berwarna krem dengan mozaik putih, sehingga bila dari jauh kadang terlihat putih, lain waktu agak keemasan, dan kadang sedikit kuning.SOH sebetulnya berorientasi menghadap ke Harbour Bridge, dengan halaman utamanya adalah laut! Tiga pasang cangkang menghadap ke laut, dan sepasang cangkang dan dua set cangkang kecil menghadap darat. Bangunan utama, di bawah empat pasang cangkang adalah gedung opera untuk pertunjukan (performance). Sementara dua set bangunan kecil dipakai untuk restoran dan museum.

Akses dari arah darat adalah plaza yang sangat luas, membentang sampai ke Circular Quay melewati area historis pendaratan koloni pertama, Sydney Cove. Area tersebut digunakan oleh warga sebagai sarana publik untuk berolahraga, berjalan-jalan menggunakan stroller bersama bayinya, bersandar ke pagar melihat Harbour Bridge dan sebagainya. Akses untuk menuju Opera House sangat terbuka, dan luas tanpa pagar sama sekali (apa kabar Monas?). Ini laras dengan kriteria bangunan landmark yang membutuhkan ruang apresiasi luas agar bisa menciptakan perbandingan skalatis dengan manusia. Di perbatasan jalan raya (hanya ada satu jalan kuldesak untuk mengakses) dan plaza, ada semacam papan informasi dan display mengenai bangunan, beserta brosur tentang acara-acara yang dijadwalkan pentas.Tepi bangunan adalah plaza observatorial, yang memungkinkan kita melihat-lihat menyeberangi laut. Di sebelah kiri adalah Harbour Bridge dan visi kota Sydney. Di sebelah kanan terlihat Royal Botany Gardens, yang dibelakangnya menyembul vista area permukiman elite, Rose Bay dan Double Bay. Di depan bangunan, menyeberangi laut adalah Sydney bagian utara. Di belakang bangunan terlihat skyline sentra bisnis, termasuk Sydney Tower. Sehingga secara sirkular kita bisa memandangi utuh Sydney, tanpa harus berada sekian level di atas permukaan tanah. Betapa briliannya inisiator ide yang memutuskan lokasi landmark akan dibangun di tanjung Bennelong tersebut.Ini adalah karya arsitektur yang mampu mendefiniskan sebuah kota. Seperti termaktub dalam notasi hadiah Pritzker yang diterima Jorn Utzon, sang arsitek dari Sydney Opera House, pada tahun 2003:


"Salah satu bangunan ikonik terbesar di abad ke-20. Sebuah gambaran dari keindahan yang membawanya ke seluruh dunia. Simbol tak hanya dari kota, tapi juga negara dan benua."

Foto Atas: Metafora layar dan komposisi struktur SOH. Foto Bawah: SOH dari arah orientasi utama dengan latar CBD kota Sydney

360 Degrees Restaurant @Sydney Tower



Nama 360 Degrees sendiri diambil karena restoran ini berotasi! Yap betul, dengan mengoptimalkan tinggi Sydney Tower (sekitar 260 meter sans antenna) yang notabennya merupakan struktur tertinggi di Sydney, restoran ini menawarkan view 360 derajat, dengan lantainya berputar. Perlahan pastinya, karena bakal banyak sup tumpah bila sekencang komidi putar. Ini tentu godaan yang meruntuhkan iman bagi semua photographer-wannabe dengan kesempatan untuk mengambil foto lansekap Sydney secara 360 derajat! Restorannya sendiri terletak di lantai 3 dari puncak menara yang berbentuk seperti ember. Artinya kalian harus melalui tinggi kurang lebih 250 meter lebih untuk ke sana. Bila lift kantor kakak gw aja untuk ke lantai 5 aja kadang boring, how about this?, maka berapa lama harus ke ketinggian yang kira-kira setara dengan 60 lantai itu? Hmm, can't imagine *_* Bersyukurlah pada teknologi, karena dengan lift ekspress jarak itu ditempuh hanya dalam waktu sekitar 10 detik saja. WOW! 10 detik saja guys!! Yap puncaknya, sedikit kecewa karena area pinggir yang berbatasan dengan view ke kota Sydney sudah terisi penuh.

Sebagai appetizer, menu andalan Sydney ya Bertajuk "Fresh Seafood". as you know guys , ternyata semuanya mentah!!! Selidik punya selidik, ternyata memang fresh seafood ala Sydney ini disajikan "fresh" alias mentah, dan hanya disiram dengan air panas untuk sterilisasi. "OMG, if for raw foods, my mouth and stomach can only accept just sushi :p"

Hidangan lain yang cukup diminati, adalah daging kanguru, (Kalo gw gakan tega untuk memakannya, bahkan gak ada niatan untuk memesannya, hbu? :D). Pengunjung restoran ini memang rata-rata wisatawan asing. Mungkin mereka penasaran dengan rasa daging kanguru yang konon bertekstur seperti daging sapi (sedikit lebih lembut) namun berbau seperti daging kambing, (Yuck,especially gw gaksuka daging kambing).

Gimana? Menurut kalian? Apa yang kalian bisa bayangkan jika kalian berada disana? Kl gw sih udah kelimpungan duluan bisa pergi kesana doang :p

Lakemba, Kota Muslim di Sydney

Miniatur kota muslim, mungkin itu yang banyak dikatakan para muslim maupun non muslim ketika mereka singgah sejenak di tempat ini, berlokasi dibagian South-West kota Sydney. Lakemba sebuah nama yang senantiasa di ingat dan dikenang. Dimanapun kita berjalan baik di pusat perbelanjaannya maupun di wilayah sekitarnya akan senantiasa kita temui kaum muslimin dan muslimah berjalan dengan nyaman dan tenang. Dari yang berkerudung biasa hingga yang yang bercadar. Rasanya seperti di Timur Tengah bukan di Sydney Australia. Wajarlah bila PM negeri Kanguru ini mengeluarkan pesannya bagi muslimah yang ingin bercadar silahkan memilih tempat di Lakemba. Ya, karena disinilah mereka diterima, bukan lagi sesuatu yang asing karena mayoritas kaum muslimin di Sydney memadati kota ini.


Wajar pula bila biaya hidup menyewa rumah di Lakemba menjadi lebih mahal dibandingkan dengan di daerah lain di luar Lakemba.Karena semua ingin tinggal disini bahkan juga orang bulenya atau non muslim, aneh kan??? Kaum muslimin yang tidak bisa menemukan tempat tinggal di daerah ini terpaksa tinggal di daerah yang berdekatan dengan kota Lakemba  seperti Belmore, Punchbowl ataupun Bankstown. Sebagian besar kaum muslimin yang tinggal di kota lain tetap berkewajiban mengunjungi Lakemba. Karena hanya di sinilah di dapati pusat kebutuhan kaum muslimin dari daging, makanan, grocery, buku-buku islam sampai pakaian. Dari Timur tengah hingga Asia.Dan tentu saja harganya lebih miring dibandingkan berbelanja di tempat lain.



Salah satu tempat di Kota lakemba, Indonesia banget kan?



Khusus di hari jumat Lakemba memiliki kesibukan tersendiri,..ya karena pada hari itulah kaum muslimin memadati kota ini untuk menunaikan shalat jumat. Lakemba menjadi macet dan padat, penuh sesak dengan kaum muslimin. Masjid di Lakemba selalu penuh dengan jamaah. Terutama setelah selesai shalat jumat jangan ditanya bagaimana ramainya. Terkadang penulis harus bersabar menunggu hingga mereka bubar untuk berbelanja  bila tidak mau ikhtilath dengan mereka. Atau harus bersabar dengan macetnya jalan disekitar Lakemba karena semua jamaah yang shalat datang dengan mobil. Duuh Lakemba,!!!


Ingin mengaji salaf?? Datanglah ke Lakemba kajian untuk muslimah biasa diadakan di Mushala Lakemba pada hari Kamis atau untuk ikhwannya pada setiap hari sabtu. Di Lakemba pula berdiri organisasi kemanusiaan islam yang bertugas membantu kaum muslimin duafa di berbagai belahan dunia yang bernama Human Apeal. Organisasi muslimahnyapun tak kalah pula aktif membantu kaum muslimah disini yang baru memeluk islam maupun yang sudah lama agar istiqamah diatas manhaj salaf yang bernama IWWA (Islamic Woman Welfare Association) jatah kaum muslimah yang berasal dari Indonesia, Malaysia maupun Singapura adalah pada hari Jumat sisa hari lainnya diisi oleh ummahat dari Timur Tengah dan Australia.

Berdasarkan data sensus tahun 2001 jumlah kaum muslimin di Australia mencapai 282.578 jiwa dan 35% adalah lahir di Australia. Kaum muslimin di Australia adalah minoritas karena jumlah mereka hanya mencapai 1,5% dari jumlah total penduduknya yang di dominasi oleh kaum Kristen dengan persentase  67 % atau 12.764.342 jiwa.


attracted to live there Guys? ;)