Sunday 8 May 2011

Chocolate Factory Experience


Alkisah Charlie Bucket, seorang anak lugu dan sederhana dari keluarga yang secara memprihatinkan sederhana pula. Tinggal disebuah gubug reyot di pinggir kota yang terkenal dengan pabrik coklat terbesar di dunia-nya. Pabrik yang dulunya menjadi generator penduduk untuk bermukim di sekitar dengan sebagian besar mata pencaharian bergantung pada kelangsungan industri cokelat tersebut. Suatu saat, si pemilik pabrik yang eksentrik, Willy Wonka memutuskan untuk mem-PHK semua pekerja di pabrik tersebut, dan secara misterius menjalankan pabrik-nya seorang diri. Hal ini menjadi misteri terbesar bagi semua orang.
Sementara dalam pandangan lugu Charlie, pabrik cokelat adalah "dunia fantasi". Suatu negeri yang penuh dengan makanan kegemarannya itu. Dalam jumlah banyak dan gratis yang mampu ia konsumsi. Bagaimana mungkin sebuah bangunan bisa menjalankan roda fantasi bagi berjuta-juta anak-anak. Ada apakah di dalamnya?

Impian Charlie tersebut mungkin sama dengan imajinasi masa kecil kita dahulu. Gw pernah mempunyai "mimpi" tentang mall. Seperti "dunia fantasi"-kah jika kita terjebak di dalam mall yang penuh dengan mainan-mainan sepanjang malam sampai pagi. Dengan gratis kita memilih, menjalankan, bermain sepuas hati. Dunia tak berbatas yang sesuai dengan impian kita.

Demikian Tim Burton yang memang ahli dalam "menerjemahkan" alam mimpi menyusun konsep untuk film Charlie and the Chocolate Factory, yang aslinya dikarang oleh Roald Dahl sebagai karya sastra untuk anak-anak yang sarat dengan pesan moral. Burton tidak memberikan fokus kepada si eksentrik Willy Wonka seperti film pendahulunya (Willy Wonka and the Chocolate Factory) melainkan (lagi-lagi) setting luar biasa, gaya Inggris-industrial (gothic atmosphere), gridded city, gubug reyot dalam arti sebenarnya, atau sungai "coklat" yang nampak seperti sungai citaum yang lagi banjir, tetapi dalam citarasa yang nikmat. Burton menghadirkan realita dari fantasi Charlie Bucket tentang dunia fantasi-nya.

Satu hal gw suka banget adalah apresiasi Burton terhadap film "A 2001 Space Odyssey" karya Kubrick. Film lawas yang fenomenal itu menjadi scene sendiri dalam adegan (spoiler alert) Mike Teevee tersedot dalam teleport. Blackbox yang ada di Space Odyssey pada awalnya berubah menjadi sekotak Wonka's Chocolate. Hehehehe, lengkap dengan musik dan suasana "putih"-nya. Dalam interkoneksi, dua film ini menjadi suatu bentuk manifestasi imajinasi. Space Odyssey merupakan imajinasi futuristik dari futurolog Arthur C Clarke, sementara Charlie and the Chocolate Factory adalah hasil "teleportasi" Burton ke dalam otak seorang anak bernama Charlie Bucket yang menjadi simbol kesederhanaan anak-anak oleh pengarang buku-nya, Roald Dahl.

Satu lagi, quote yang brilian adalah ketika si kakek skeptis menganjurkan Charlie untuk "experience" Golden Ticket-nya ketimbang dituker dengan sejumlah duit (yang emang dibutuhkan oleh keluarganya. "Uang itu akan terus dicetak, dan kamu tidak bakal kehilangannya. Sementara pengalaman itu datangnya sekali dalam seumur hidup, apa kamu akan menghilangkannya?". It's time to give our life meanings