Friday, 3 May 2013

Basa dan basi

Kian hari kian terlihat mana sebenarnya orang yang tulus dan tidak. Which mean yang tidak adalah hanya saat ada butuhnya saja ia mendekat, jika tidak s/he fade away. Saya mungkin orang yang senang berbasa basi, tapi bukan berarti saya flatterer. Saya dibesarkan di keluarga yang penuh akan affection. Ibu dari keluarga sunda yang sudah jelas banyak berbasa basi. Tamu yang datang kerumah saja disuruh mencicipi makanan dirumahnya a.k.a makan oleh ibu, tidak pandang bulu, tidak pandang waktu yang dimiliki tamu. Salah juga memang, tapi itulah Ibu kakak tertua dari ke sembilan adiknya yang berdarah sunda asli. Setelah mengenyam pendidikan saya majoring in psychology di tahun keempat ini saya jadi sering memikirkan terus menerus mengenai family matter di keluarga besar saya. Jadi obrolan saya ini bukan karena omong kosong belaka. Ibu yang diajarkan oleh kakek nenek saya a.k.a ibu dan ayah dari ibu untuk selalu sopan dan santun kepada orang lain. Jika berbicara hal yang baiknya saja sudahlah itu memang baik, namun hal tersebut terkadang saya rasakan kerugiannya. Bukan persoalan materi, tapi waktu. Entahlah, saya adalah produk di jaman sekarang dan tidak murni keturunan darah sunda asli. Terkadang memang harus kita berbasa-basi tapi adakalanya juga tidak perlu. Namun bukan berarti tidak perlu begitu saja, maksudnya tidak perlu yang berlebihan. Menjadikan orang-orang yang ada dirumah harus selalu menjunjung tinggi tamu datang. Sampai-sampai aktivitas saya sendiri harus saya hentikan sejenak, sudah mengganggu bukan ?

Ayah saya merupakan asli keturunan jawa tulen, kampungnya ada di solo. Namun ayah saya sudah hijrah ke bandung semenjak SMA bersama keluarganya. Pribahasa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung ternyata tidak berlaku untuk Ayah saya, karena walaupun ia tinggal di tatar sunda, tetap saja ketika masuk kerumah semuanya serba berbau adat jawa, maksudnya kebiasaan life matter. Ayah saya tahu takaran basa basi yang seharusnya dilakukan pada siapapun. Sejujurnya saya senang akan pola ini, namun ia tidak bisa bersikap lembut dan hangat kepada siapapun, hanya beberapa orang saja. Terkadang ketika seseorang bersikeras untuk mempertahankan apa yang merekat pada dirinya tidaklah menjadi baik. Apapun keadannya terkadang seseorang perlu merubah pola sikapnya karena keadaan seseorang diluar sanapun pasti akan merubah pola sikapnya terhadap kita. Jadi jika demikian akan imbang bukan ? 

Sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Saya dijadikan patokan akan keberhasilan keluarga dari ayah saya. Bagaimana tidak, semua anak dari adik ayah telah berhasil baik itu di dunia pekerjaan maupun pendidikan. Sebagai anak laki-laki saya tidak suka untuk melukai siapapun, maka dari itu saya selalu menjawab "ya" pada setiap permintaan yang ditujukan pada saya. Saya pikir ini adalah hasil dari pola asuh yang diterapkan kepada saya. Selain itu juga saya orang yang gila hormat, bukan berarti saya sangat ingin dihormati. Tapi sebaliknya saya sangat menghormati pada siapapun sosok otoritas. Unik ternyata budaya yang diturunkan dari ayah dan ibu saya, yang kemudian menghasilkan sifat pada diri saya. Hal ini menjadikan saya sangat senang untuk berbasa-basi. Namun saya garis bawahi lagi bahwa saya bukanlah flatterer. Menurut saya basa basi yang cukup itu baik, hal ini seperti pembukaan yang baik jika kita diminta untuk membuat percakapan dalam mata pelajaran bahasa indonesia di sekolah dasar. Ya, ataupun sebagai welcome speech yang sering dilakukan oleh master of ceremony pada acara-acara. Atau sebagai 1st impression pada situasai apapun dan siapapun orangnya. Namun saya tidak habis pikir pada orang-orang yang tidak memiliki manner yang straighly to the point. Saya mengerti bahwa tidak ada satupun orang yang diciptakan sama, semuanya berbeda. Namun need to underline tidak semua orang bisa menerimanya. Basa basi berlebihan memang tidak diperlukan, yang terpenting kita tahu porsi mana yang sesuai dengan orang yang kita hadapi untuk berbasa basi. 

No comments:

Post a Comment